Pembuat Pesawat Tempur Andalan Jerman Lahir di Blitar
Tak ada yang mengira jika Anthony Fokker yang lahir di Indonesia
akan menjadi tokoh pembuat pesawat tempur, Fokker D VII yang menjadi andalan
Jerman selama Perang Dunia I (PD I).Fokker yang lahir di Blitar pada 6 April 1890 dan Indonesia
(Dutch East India) waktu itu masih berada di bawah jajahan Belanda, berasal
dari keluarga pengusaha perkebunan.
(c) National Geographic Indonesia |
Ayahnya merupakan pemilik perkebunan kopi
dan hasil panennya merupakan barang ekspor bernilai tinggi ke sejumlah negara
Eropa. Fokker tinggal di Indonesia hanya sampai umur empat tahun karena
keluarganya kemudian memutuskan pulang ke Belanda dan menetap di kawasan
Haarlem.Ketika memasuki usia sekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah
menengah, Fokker selalu membuat pusing guru dan orang tuanya karena
kegemarannya menggambar mesin khususnya rancangan mesin kereta api dan pesawat.
Ketertarikan Fokker terhadap pesawat terbang makin menggila ketika menyaksikan demo flight yang dilaksanakan perancang pesawat pertama di
dunia, Wilbur Wright, pada 1908 di Le Mans, Perancis. Kegemaran membuat
rancangan mesin itu membuat Fokker tak bisa fokus terhadap mata pelajaran
lainnya sehingga mengakibatkan dirinya drop out dari
sekolah menengah.Lalu ayahnya mengirimkan Fokker untuk sekolah teknik mesin mobil di J
Bingen Technical School, Jerman.
Karena ketertarikan utama Fokker tetap pada
mesin pesawat terbang, ia kemudian dipindah ke Erste Deutsche Automobil
Fachshule yang berada di kawasan Mainz.Pendidikan teknik penerbangan yang dijalani Fokker segera
menunjukkan hasilnya setelah dirinya sukses membuat pesawat rancangannya
sendiri, De Spin. Aksi penerbangan Fokker menggunakan De Spin menjadikan
dirinya bak selebriti ketika pada Agustus 1911, ia melaksanakan demo flight di sekeliling menara Sint Bavokerk yang menjulang
di Harlem.
Fokker bahkan diundang terbang di atas Belanda untuk memperingati
hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Tapi karena Fokker juga bermental pengusaha
dan melihat pasar potensial untuk mengembangkan bisnis pesawat berada di
Jerman, Fokker pun kembali lagi ke negara tempat menimba ilmu itu.
Warga Jerman
Pada tahun 1912, Fokker
kembali ke Jerman dan menetap di Johannistal, Berlin dan kemudian mendirikan
pabrik pesawat terbang, Fokker Aeroplanbau. Ketika pabriknya terus berkembang
dan memproduksi berbagai tipe pesawat, Fokker memindahkan pabriknya ke kawasan
Schwerin dan mengubah nama pabriknya menjadi Fokker Werke GmbH.
Salah satu
pesawat berbahan kayu yang dirancang Fokker dan secara teknis terinspirasi
pesawat produksi Perancis, Morane Sauliner, selanjutnya menjadi pesawat
tempur andalan Jerman. Atas lisensi dari pabrik pesawat Perancis, Le Rhone,
Fokker bahkan berhasil mengembangkan beragam pesawat tipe baru dan memiliki
kualitas lebih baik dibandingkan pesawat asli yang ditirunya.
Sebagai perancang pesawat terbaik di Jerman dan masih
berkewarganegaraan Belanda, pada awalnya Fokker tetap dianggap orang asing yang
tidak perlu dikagumi. Rancangan Fokker kadang masih dianggap kelas dua oleh
para perancang asli Jerman. Salah satu rancangan Fokker yang mumpuni adalah
sistem rotary
engine yang secara kemampuan (power) dan kualitas lebih unggul dibandingkan sistem rotary engine buatan perancang Jerman.
Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif, Fokker memilih
mengalah. Karena selama tinggal di Jerman dirinya sudah maklum terhadap warga
Jerman (ras Germania) yang selalu merasa lebih unggul dibandingkan bangsa
lainnya. Namun ketika militer Jerman mulai memikirkan pentingnya pesawat dalam
pertempuran, Fokker diterima sebagai warga Jerman (1914) dengan syarat pesawat
hasil rancangannya harus bermanfaat bagi militer Jerman.Seiring dengan pecahnya
PD I produksi pesawat rancangan Fokker yang digunakan untuk bertempur makin
beragam.
Seperti pesawat tempur, Fokker E I yang sengaja dirancang Fokker untuk
kepentingan militer Jerman, langsung membuat militer Jerman tertarik karena
sistem penembakkan senapan mesinnya sudah bisa sinkron dengan putaran
baling-baling pesawat. Meskipun pembuatan Fokker E I merupakan pengembangan
Morane Sauliner berkat mesin rancangan terbaru, pada PD I yang berlangsung Juli
1915, Fokker E I yang mendapat julukan Fokker Fodder merajai medan pertempuran udara
di kawasan Eropa Barat hingga satu tahun.Sistem penembakan senapan mesin yang pelurunya melintas di antara
putaran baling-baling sebenarnya bukan murni rancangan Fokker sendiri.
Melainkan pengembangan dari pesawat sitaan Perancis yang berhasil ditembak
jatuh dan disita militer Jerman. Pilot Perancis yang tertawan, Roland Garros
yang tertembak jatuh pada April 1915, kebetulan merupakan salah satu perancang
alat penembakkan (synchronization
device) itu dan memberikan banyak
masukan kepada teknisi Jerman saat ditawan. Fokker termasuk teknisi yang paling
dominan dalam pengembangansynchronization
device itu dan bisa merampungkan
karyanya dalam waktu 48 jam.
Memasuki 1916 pertempuran udara di atas Eropa makin mematikan
berkat hadirnya pesawat biplane tipe baru Fokker D II dan D III, yang
memiliki kemampuan lebih cepat (150 kilometer per jam) dan bersenjata senapan
mesin tunggal IMG 08 kaliber 7,92 mm. Tapi keunggulan Fokker D II dan DIII
ternyata tersaingi oleh pesaingnya, pesawat tempur biplane Albatros DI dan DII yang menggunakan mesin lebih
kuat, Mercedes.
Karena kalah performa, Fokker D II dan DIII oleh militer Jerman
kemudian ditawarkan kepada Belanda yang selama PD I menyatakan diri sebagai
negara netral.Akibat penurunan kemampuan mesin Fokker itu, bahkan setelah
mesin Mercedes dipasang menjadikan tahun 1916 merupakan masa suram bagi Fokker.
Lembaga pengawas penerbangan militer Jerman, Inspektion der Fliegertruppen
(Idflieg) bahkan memerintahkan agar Fokker bekerja sama dengan industri
penerbangan lainnya untuk meningkatkan mutu. Apalagi pada tahun yang sama
kepala perancang Fokker, Martin Kreuzer tewas akibat kecelakaan pesawat. Peran
Martin kemudian digantikan oleh Franz Moser yang kelak sukses merancang pesawat
Fokker, Dr 1 triplane, D VIIbiplane, dan D VIII monoplane.
Di bawah kepemimpinan Martin, Fokker Werke GmbH mengalami
kemajuan yang signifikan ketika Menteri Penerbangan Jerman (Air Ministry) turun
tangan dan memerintahkan merger antara Fokker serta industri penerbangan Hugo
Junker. Tujuan merger itu adalah untuk memenuhi kebutuhan pesawat tempur bagi
Imperial German Army Air Service (Luftstreitkraffe) Pesawat yang kemudian
berhasil dirancang dan diproduksi adalah triplane Dr I (Dreidecker I) yang kemudian diproduksi
secara massal pada musim panas 1917.
Ketika diturunkan di medan tempur Eropa
Barat, Dr I ternyata mengalami masalah teknis dan harus dibayar dengan gugurnya
sejumlah pilot Jerman. Militer Jerman pun segera memerintahkan grounded Dr I dan sekaligus melaksanakan perbaikan (modifikasi).Untuk kemampuan menanjak dan bermanuver, Dr I tidak mengalami
masalah. Tapi untuk kecepatan dan aerodinamika sayap Dr I perlu dilakukan
perbaikan. Modifikasi yang dilakukan terhadap Dr I adalah pemasangan sayap
model biplane, V-11 dan penggantian mesin baru menggunakan Mercedes
DIII. Berkat modifikasi itu, Fokker Dr I pun menjadi pesawat tempur unggulan
dan berhasil mencetak pilot ace tersohor Red Baron Manfred von Richthofen.